Weda, sabda suci Tuhan dengan syair suci yang disebut
Mantra, berjumlah sebanyak 20.389 Mantra. Isinya adalah Sanatana Dharma atau
kebenaran yang kekal abadi. Artinya, isi ajaran Weda itu tidak akan pernah
lekang atau usang oleh ruang dan waktu. Kapan saja dan di mana saja kebenaran
Weda itu akan tetap berlaku. Karena isi Weda itu universal. Maka, berbagai
pustaka Hindu menyatakan bahwa Weda itu harus ditradisikan sesuai dengan
keberadaan zaman dan umat penganut Weda.
Agar selalu dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman maka Sarasamuscaya 260 menyatakan dengan istilah Weda Abhiyasa. Artinya, Weda itu hendaknya diterapkan menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi adat istiadat yang membudaya diikuti oleh umat penganut Weda. Demikian juga
dalam Manawa
Dharmasastra II,12 dan 18 ada istilah Sadacara yang artinya juga sama yaitu
mentradisikan kebenaran Weda. Sadacara berasal dari bahasa Sansekerta, dari
kata Sat dan Acara. Sat itu adalah Satya yang artinya kebenaran Weda dan Acara
artinya tradisi yang baik. Dalam Sarasamuscaya 177 dinyatakan ‘’Acara ngarania
prawrti kawarah sang hyang aji’’. Artinya, Acara adalah pelaksanaan ajaran
pustaka suci. Dari pemahaman ini Sadacara adalah ajaran Weda yang Sanatana
Dharma itu diterapkan menjadi tradisi suci. Agar selalu sesuai dengan kebutuhan
zaman maka tradisi Weda atau Sadacara itu haruslah selalu berubah mengikuti
zaman. Hal inilah oleh Swami Siwananda disebut dengan istilah Nutana. Dalam
bahasa Sansekerta kata Nutana artinya muda dan segar. Yang selalu muda dan
segar dari Weda atau Agama Hindu itu adalah kemasan adat budayanya, bukan
substansinya. Contoh dalam konteks itu bagaimana manusia senantiasa berganti
pakaian dan juga perkembangan mental dan fisik, tetapi orangnya tetap sama.
Waktu masih bayi berpakaian bayi, sudah agak besar sedikit berpakaian yang
disebut bercelana monyet. Demikian selanjutnya sampai dewasa terus pakaian
untuk membukus badan terus berubah-ubah. Secara fisik dan mental juga terus
berubah. Dari yang rendah semakin tinggi, kemudian mencapai batas ketinggian
maksimum. Ada
yang fisiknya dari kurus terus semakin gemuk, ada yang sebaliknya dari gemuk
semakin kurus. Demikian juga mental, awalnya penakut, lama-lama menjadi
pemberani. Dulu tak takut tidur sendiri, lama-kelamaan menjadi berani. Awalnya
malu bicara di depan umum, lama-lama menjadi berani. Dari kurang dewasa terus
menjadi semakin dewasa. Itulah perubahan fisik dan mental. Hal itu dapat
diumpamakan dalam penerapan kebenaran ajaran Weda. Inti yang diterapkan tetap
sama yaitu Dharma yang Sanatana itu. Cuma kemasannya adat budayanya yang
berbeda-beda dari zaman ke zaman. Demikian juga akan berbeda menurut tempat di
mana Weda diterapkan. Inti Weda itu sabda Tuhan, kemasan adat budayanya buatan
manusia. Karena buatan manusia, tentunya adat budaya itu juga tidak langgeng.
Adat budaya itu dibatasi oleh ruang dan waktu. Agar selalu menjadi menarik,
adat budaya itu harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Layaknya memelihara
rumah atau pakaian. Sewaktu-waktu dibersihkan, dalam waktu yang lain ada yang
direhab. Demikian juga pakaian. Kalau kotor dicuci, disetrika dan seterusnya.
Kalau sudah tidak pas lagi baju itu diganti karena pemakainya sudah bertambah
besar. Demikian jugalah halnya dengan adat budaya beragama Hindu. Harusnya
terus menerus dilakukan upaya Nutana yaitu meremajakan adat budaya itu agar
sesuai dengan perjalanan zaman. Yang penting isi di dalamnya sama yaitu
Sanatana Dharma inti sari Weda.Agar selalu dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman maka Sarasamuscaya 260 menyatakan dengan istilah Weda Abhiyasa. Artinya, Weda itu hendaknya diterapkan menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi adat istiadat yang membudaya diikuti oleh umat penganut Weda. Demikian juga
Agar intisari Weda diterima diberbagai ruang dan waktu maka Manawa Dharma Sastra VII.10 menetapkan adanya lima pertimbangan dalam mengamalkan Weda agar Dharma yang kekal abadi itu sukses mencapai tujuan menuntun umat menuju hidup yang Jagathita dan Moksha (Dharma Sidhi artha). Lima pertimbangan itu adalah Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan atau Drsta di masing-masing ruang dan waktu harus dijadikan dasar pertimbangan menerapkan Dharma. Sakti artinya kemampuan umat di masing-masing ruang dan waktu. Desa artinya aturan rokhani setempat yang sudah berlaku baik. Kala adalah waktu saat Dharma itu diamalkan. Ada waktu Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Menurut Manawa Dharmasastra I.86 prioritas beragama setiap zaman berbeda-beda. Mengamalkan Dharma sesuaikanlah dengan perubahan Yuga tersebut agar sukses. Yang utama adalah Tattwa yaitu inti kebenaran Weda tidak berubah. Artinya intisari Weda yaitu Tattwa yang dikermas oleh Iksha, Sakti, Desa dan Kala tetap sama.
Untuk memelihara adat budaya ini sudah ada konsep Tri Kona dan Tri Guna. Karena itu di setiap Desa Pakraman di Bali ada Pura Kahyangan Tiga untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Dewa Tri Murti itu adalah Dewa Tri Kona dan Tri Guna. Adat budaya agar selalu muda dan segar harus ada proses Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati adalah proses yang kreatif untuk menciptakan sesuatu yang dibutuhkan zaman. Stithi adalah harus ada upaya untuk memelihara dan melindungi adat dan budaya yang masih relevan dengan zaman. Pralina adalah upaya untuk mengakhiri menggantikan atau merehabilitasi suatu adat dan budaya yang sudah usang dan menghambat kemajuan zaman. Untuk melakukan proses Tri Kona itu tidaklah mudah, karena itu mohonlah bimbingan rokhani dengan memuja Tuhan sebagai Dewa Tri Murti agar daya spiritual itu mampu mendukung kecerdasan intelektual menganalisis upaya Tri Kona tersebut. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti itu juga untuk menguatkan Tri Guna. Tri Guna yang kuat apabila Guna Sattwam dan Guna Rajah seimbang menguasai pikiran atau Citta. Guna Sattwam mendorong untuk berniat mulia sedangkan Guna Rajah mendorong untuk melakaukan niat mulia itu dengan nyata. Dengan demikian Guna Tamah dapat terkuasai tidak membuat orang menjadi malas. Dewa Tri Murti dalam pustaka Matsya Purana 53.Sloka 68 dan 69 ada dinyatakan adalah Guna Awatara. Artinya Tuhan Yang Mahaesa itu turun ke Bhuwana Agung menjadi Sang Hyang Tri Murti sebagai Guna Awatara untuk menuntun umat manusia mengendalikan Tri Gunanya. Memuja Dewa Wisnu adalah sebagai penuntun mengendalikan Guna Sattwam. Memuja Dewa Brahma sebagai penuntun mengendalikan Guna Rajah dan memuja Dewa Siwa atau Rudra untuk mengendalikan Guna Tamas. Dengan Tri Guna terkendali maka perubahan yang dilakukan menuju perubahan yang semakin baik dan benar.
Adat budaya beragama Hindu akan senantiasa dinamis positif muda dan segar atau Nutana apabila dibina dengan konsep Tri Kona dan Tri Guna dengan memuja Tuhan sebagai Tri Murti.
link post origiinal:
http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=kategoriminggu&kid=25&id=Mimbar%20Agama